Sabtu, 23 April 2011

JAGALAH LISANMU ITU

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik dan benar hingga hari kiamat.

Lisan merupakan anugerah sekaligus amanah Allah subhanahu wata'aala; yang harus kita jaga sebaik mungkin. Amanah dan anugerah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahu wata'aala; kelak di hari Kiamat. Anugerah yang bukan hanya dapat menyelamatkan pemiliknya, tetapi dapat pula menjerumuskannya ke dalam jurang kehancuran dan penyesalan yang mendalam, jika tidak berhati-hati dalam menjaganya.

Tidak seorang pun dapat selamat dari kejahatan lisan, kecuali orang yang menjaga lisannya dengan ketentuan syari'at Allah subhanahu wata'aala dan tidak menggunakan lisannya kecuali untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

Banyak manusia yang kurang perhatian dan cenderung meremehkan dalam hal menjaga lisan. Bahkan ironinya, sebagian mereka justru telah terbiasa menggunakan lisannya untuk mencela dan mencaci maki manusia. Juga menggunakannya untuk hal yang haram, seperti: berdusta, ghibah (menggunjing), atau mengadu domba, berdebat tanpa hikmah, bersaksi palsu.

Banyak manusia meremehkan bahaya dan musibah yang disebabkan oleh lisan, tidak waspada dari perangkap-perangkapnya! Banyak hubungan kekeluargaan dan kekerabatan putus dan hancur karena lisan?! Banyak hati yang tercerai berai, pertumpahan darah, dan hilangnya nyawa manusia disebabkan oleh lisan! Banyak orang-orang terzhalimi yang disebabkan oleh lisan? Berapa banyak wanita-wanita baik-baik dicerai juga disebabkan oleh lisan? Berapa banyak harta benda dirampas karena ulah lisan? Dan banyak wanita-wanita shalihah dituduh berzina lewat lisan? Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un.

Lisan merupakan salah satu faktor yang dapat menyeret pemiliknya ke dalam neraka. Maka dapat kita pastikan bahwa menjaga lisan merupakan pilar kebaikan. Sebagaimana hal ini pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam kepada Muadz bin Jabal radhiallahu `anhu, setelah beliau menyebutkan Islam, Shalat, dan Jihad kepadanya, "Maukah kukabari kepadamu tentang pilar semuanya itu? " Muadz radhiallahu `anhu menjawab, "Iya wahai Rasulullah!" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam memegang lisannya dan bersabda, "Jagalah olehmu ini." Lalu Muadz radhiallhu `anhu pun berkata, "Benarkah kita akan disiksa dengan apa yang kita bicarakan dengan lisan ini? Beliau shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Celakalah engkau wahai Muadz radhiallahu `anhu. "Tidaklah manusia dilemparkan ke dalam neraka melainkan akibat dari lisan-lisan mereka?" (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Menjaga lisan juga merupakan jalan menggapai kebahagian di dunia dan di akhirat. Maka dari itu, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang dapat membantu dan memudahkan kita dalam menjaga lisan ini dari segala fitnah dan malapetakanya. Di antara hal-hal tersebut adalah:

1. Meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wata'aala dari kejahatan lisan.

Dari Syakal bin Hamid radhiallahu `anhu dia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alahi wasallam, dan berkata," "Wahai Rasulullah!, Ajarilah aku cara (do’a) berlindung, sehingga aku dapat berlindung kepadanya." Dia berkata, "Maka beliau shallallahu 'alahi wasallam meraih telapak tanganku, lalu bersabda, ("Katakanlah, "Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kejahatan telingaku (pendengaranku), dan dari kejahatan mataku (penglihatanku), dan dari kejahatan lisanku, dan dari kejahatan hatiku, dan dari kejahatan keinginan-keinginanku." (HR. Ahmad)


2. Mengingat akibat-akibat buruk yang akan menimpa yang disebabkan oleh lisan yang tak dijaga..

Sesungguhnya keburukan atau kejahatan lisan dapat menghapuskan kebaikan-kebaikan pada hari Kiamat. Dan akan memberatkan timbangan kejahatan, maka hal ini pula yang dapat memotivasi seseorang untuk menjaga lisannya dari segala malapetaka, dan menguatkan tekad untuk mengatasinya.

3. Mendirikan shalat.

Shalat juga merupakan salah satu faktor yang dapat membantu seseorang menjaga lisannya. Karena shalat, sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur'an adalah dapat mencegah perbuatan yang keji dan mungkar, menghapuskan keburukan dan kesalahan, dan mencegah malapetaka-malapetaka atau fitnah-fitnah yang disebabkan oleh lisan. Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Hendaklah kalian mengerjakan shalat malam, sesungguhnya ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, dan ia dapat mendekatkan diri kalian kepada Allah subhanahu wata'aala, mencegah dari perbuatan dosa, menghapuskan kesalahan-kesalahan, dan menolak penyakit masuk ke dalam tubuh." (HR. Ahmad)

4. Memperbanyak diam.

Diam merupakan perbuatan yang dipuji dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam, sebagaimana sabdanya, "Barangsiapa diam, maka selamatlah dia.” (HR. Ahmad). Dan juga sabda beliau shallallahu 'alahi wasallam lainnya, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam." (Muttafaq 'alaih).

Dari Uqbah bin 'Amir zdia berkata, "Ya Rasulullah! Apa itu keselamatan?". Beliau shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Jagalah lisanmu, dan biasakanlah untuk berada di rumahmu, dan menangislah atas kesalahan/dosamu.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).

Mu'adz bin Jabal radhiallahu `anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Sungguh engkau senantiasa dalam keselamatan, selama engkau diam. Lalu jika engkau berbicara, maka ditulislah (atas pembicaraan tersebut) pahala atau dosamu.” (HR. ath-Thabrani).

5. Menyibukkan diri dengan keta'atan.

Mengisi kekosoangan waktu dengan ibadah kepada Allah subhanahu wata'aala, berdzikir kepadaNya, dan melakukan keta'atan-keta'atan lainnya, sehingga dapat menutup perangkap-perangkap syetan berupa kemaksiatan dan malapeta yang diakibatkan oleh lisan. Dan hendaklah seorang muslim membiasakan diri untuk tidak menghabiskan waktunya dan menyibukkan diri kecuali dengan ibadah.

6. Berteman dengan orang-orang yang selalu menjaga lisannya dari perbuatan maksiat.

Dan tidak duduk atau bergaul dengan orang-orang yang terbiasa menggunakan lisannya untuk berdusta, bergunjing, mengadu domba, mencela, melaknat dan mengolok-mengolok orang lain.

7. Memutuskan semua jalan dan wasilah yang dapat menimbulkan malapetaka/bencana lisan.

Seperti: Marah, dengki, sombong, lalai, berbangga diri, menganggap diri paling suci, bergantung kepada selain Allah subhanahu wata'aala, berusaha mengatasi malapetaka sendiri tanpa meminta pertolongan Allah subhanahu wata'aala, serta sibuk dengan aib orang lain dan lupa dengan aib sendiri.

8. Mengingat balasan dan kebaikan-kebaikan di dunia dan di akhirat yang dijanjikan Allah subhanahu wata'aala bagi orang yang menjaga lisan.

Maka dengan cara ini seseorang akan termotivasi untuk menjaga lisannya dan bersabar dalam menjaganya. Di antara balasan dan kebaikan menjaga lisan adalah:

- Mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wata'aala sampai hari Kiamat.
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Sungguh seseorang berkata dengan satu kata yang diridhai Allah subhanahu wata'aala sementara dia tidak mengetahui derajat apa yang dicapai dari kata yang ia ucapkan, maka Allah subhanahu wata'aala memberikan keridhaanNya baginya sampai hari ia bertemu denganNya.” (HR. Malik, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad, dan Hakim).

- Mendapatkan jaminan surga.
Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara kedua jenggotnya (lisannya) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin surga baginya.” (HR. al-Bukhari)

- Orang yang menjaga lisannya termasuk di antara orang-orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam dan yang paling dekat majlisnya dengan beliau pada hari Kiamat.

- Seutama-utamanya kaum muslimin.
Pernah Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam ditanya, "Siapakah orang yang paling utama di antara kaum muslimin?", Maka beliau shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Orang yang saudara-saudaranya kaum muslimin selamat dari kejahatan lisan dan tangannya." (Muttafaq 'alaih).

- Selamat dari adzab Allah subhanahu wata'aala. Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Barangsiapa diam, maka selamatlah ia." (HR. Ahmad).

- Terjalin hubungan baik dengan manusia.

- Menentramkan jiwa dari kesulitan, kegundahan dan berbagai masalah.

-Mendapatkan cinta Allah subhanahu wata'aala dan cintanya penduduk langit dan bumi.


Wallahu a’lam.
Sumber: Buletin An-Nur, Abu Nabiel Muhammad Ruliyandi

TAWAKAL

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik dan benar hingga hari kiamat.

Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah subhanahu wata’ala, untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudharatan, baik menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat.

Allah subhanahu wata’ala, berfirman, artinya,
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya (mencukupkan keperluannya)." (QS. Ath-Tholaq: 2-3)

Barangsiapa yang mewujudkan ketaqwaan dan tawakkal kepada Dzat yang telah menciptakannya, maka dia akan bisa menggapai seluruh kebaikan yang ada dalam dinul Islam dan juga kebaikan di dunia ini.

Dari Umar Bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezki kepada kalian seperti seekor burung, pagi-pagi ia keluar dari (sarangnya) dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Imam Ahmad & At-Tirmidzi, dan teks hadits ini dari beliau, Abu ‘Isa berkata: hadits ini hasan shaheh)

Abu Hatim Ar-Raziy rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan tonggaknya tawakal, sedangkan tawakal merupakan faktor terbesar dalam mencari rezki.”
Sa'id Bin Jubeir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tawakal itu keseluruhannya adalah iman.”

Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan ikhtiar atau mengesampingkan usaha. Takdir Allah subhanahu wata’ala dan sunnatullah terhadap makhluk-Nya terkait erat dengan ikhtiar makhluk itu sendiri, sebab Allah subhanahu wata’ala yang telah memerintakan hamba-Nya untuk berikhtiar dan di saat yang sama Dia juga memerintahkan hamba-Nya untuk bertawakal.

Ikhtiar itu adalah perintah-Nya terhadap jasad lahiriyah kita, sedangkan tawakal adalah perintah-Nya terhadap hati kita sebagai manifestasi dari keimanan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu sekalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat perkerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah:105)

Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Al-Imran: 159)

Sahl rahimahullah menuturkan, “Barang-siapa yang cacat dalam masalah ikhtiar berarti dia mengalami cacat dalam masalah Sunnah, dan barangsiapa yang cacat dalam masalah tawakal berarti dia mengalami cacat dalam masalah keimanan. Tawakal adalah prinsip hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ikhtiar adalah sunnah beliau. Barangsiapa yang memiliki prinsip hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka janganlah dia meninggalkan sunnahnya.”


Amalan yang dilakukan oleh seorang hamba Allah subhanahu wata’ala dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Amalan dalam bentuk ketaatan yang diperintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya, dan Allah subhanahu wata’ala menjadikannya sebagai sebab keselamatan seorang hamba dari neraka dan masuk ke surga. Hal ini harus dia kerjakan berbarengan dengan sikap tawakalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan memohon pertolongan kepada-Nya. Sesungguhnya seorang hamba itu tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun tanpa dari-Nya.

Apa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki untuk terjadi, maka pasti akan terjadi. Dan apa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki untuk tidak terjadi, maka pasti tidak akan terjadi. Barangsiapa lalai dan teledor terhadap salah satu kewajibannya, maka dia pantas mendapatkan hukuman di dunia dan di akhirat. Hal seperti itu baik ditinjau dari sisi syari'at Islam maupun secara hukum alam.

Yusuf Bin Absath rahimahullah berkata, “Seseorang menuturkan, “Berbuatlah seperti amalan yang dilakukan oleh seseorang, yang mana dia tidak akan selamat tanpanya. Dan tawakallah seperti seseorang yang tidak ditimpa sesuatu, kecuali yang sudah dituliskan baginya.”

2. Amal perbuatan yang Allah subhanahu wata’ala jadikan terjadinya hukum sebab akibat. Allah subhanahu wata’ala perintahkan hamba-hamba-Nya untuk tidak mengabaikan perintah-Nya tersebut, seperti: diperintahkan makan ketika lapar, minum ketika dahaga, berteduh ketika terik matahari, menghangatkan badan ketika kedinginan dan lain sebagainya. Semua perintah itu wajib dilaksanakan, barangsiapa yang mengabaikannya, dia akan tertimpa marabahaya.

3. Amal perbuatan yang Allah subhanahu wata’ala jadikan terjadinya hukum sebab akibat pada kebanyakan dan pada umumnya, kadang-kadang bisa terjadi sesuatu di luar itu, bagi apa saja yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki. Misalnya obat-obatan.

Para ulama berbeda pendapat tentang seorang yang tertimpa penyakit, manakah yang lebih utama baginya, apakah dia hanya bertawakal saja kepada Allah subhanahu wata’ala secara totalitas (tanpa berobat), ataukah dia berobat, atau dibiarkan saja. Ada dua pendapat yang masyur dalam masalah ini, menurut Imam Ahmad rahimahullah: bagi mereka yang mampu untuk bertawakal saja, maka itu adalah lebih utama, berdasarkan sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Ada 70 ribu orang dari ummatku ini yang akan masuk surga tanpa dihisab. Lalu beliau berkata lagi: mereka adalah orang-orang yang tidak percaya masalah "tathayyur" (kesialan), tidak minta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan "key" (berobat dengan besi panas yang ditempelkan ke tubuh), dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka". (HR. Muttafaqun 'Alaihi)

Sementara pendapat para ulama yang mengatakan: bahwa seseorang yang sakit itu harus berobat, didasarkan kepada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa berobat tatkala sakit. Sedangkan tentang hadits di atas mereka pahami; bahwa ruqyah yang dimaksud dalam hadits "mereka tidak minta diruqyah" adalah ruqyah yang makruh, yaitu ruqyah yang mendekati kesyirikan. Alasannya menurut mereka: bahwa ruqyah yang disebutkan dalam hadits di atas disebutkan secara bersamaan dengan key dan tathayyur, yang kedua-duanya adalah dimakruhkan (dilarang karena tidak disukai).

Mujahid, Ikrimah, An-Nakha`iy rahimahumullah dan tidak sedikit dari kalangan ulama salaf bertutur, “Rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk tidak berikhtiar sama sekali hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang hatinya benar-benar sudah terputus dari makhluk.”

Ishak Bin Rahawaih rahimahullah ditanya: “Bolehkah seseorang masuk ke medan pertempuran tanpa bekal?” Beliau menjawab, “Jika orang itu sekaliber Abdullah Bin Jubeir maka diperbolehkan. Jika tidak maka jangan sekali-kali melakukannya!”

Syaikh Hamd Bin Abdullah Ad-Dausary dalam buku “Ash-Shihhah Wa Al-Maradh” jika seseorang itu meninggalkan pengobatan karena kuatnya keimanan dan tawakalnya kepada Allah subhanahu wata’ala, bahwa Dia adalah Zat yang mendatangkan manfaat dan mudarat dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, maka sikap yang demikian "tidaklah terlarang". Dia tidak boleh dipaksa untuk berobat.

Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, tatkala terkena suatu penyakit, ditanyakan kepadanya, “Mengapa engkau tidak pergi berobat ke dokter?” Dia menjawab: “Dokter (yang beliau maksud adalah Allah) sudah melihat keadaanku” para shahabatnya bertanya, “Apa yang dikatakan oleh Dokter itu kepadamu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Aku (Allah) Maha Berbuat apa yang Aku kehendaki.”

Oleh karena itu, wajib bagi kita berwasiat kepada diri kita dan kepada orang-orang yang sedang sakit agar bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala dan menggantungkan hati kita kepadaNya. Sehingga kita akan mendapatkan kesehatan, keselamatan, dan balasan pahala di dunia dan di akhirat. (Isnain Azhar, Lc)

Wallohu a'lam
Sumber : Buletin An-Nur

Rabu, 13 April 2011

Bahaya Su'uzhan dan Syak (Ragu)

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik dan benar hingga hari kiamat.

Su’uzhan dan syak (ragu) terhadap sesama muslim adalah penyakit yang berbahaya di antara penyakit-penyakit hati. Sebagian manusia merasakan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit itu. Di antara tandanya adalah jika anda berkata kepadanya dengan suatu kalimat atau anda melakukan suatu pekerjaan, maka di dalam hatinya terjadi was-was dan prasangka buruk atas apa yang anda katakan atau lakukan itu. Dan dengan was-wasnya itu dia menyimpulkan sendiri ucapan dan tindakan orang lain dengan kesimpulan yang negatif.

Padahal selayaknya dia melakukan receck dan memperjelas sesuatu, sehingga terang baginya apa yang memotivasi ucapan atau perbuatan tersebut. Bahkan merupakan kewajiban baginya untuk husnuzhan (berbaik sangka) terhadap saudaranya sesama muslim, kecuali jika memang jelas baginya bahwa orang tersebut berbuat buruk. Sebagian orang ada yang jika mendengar kabar dari orang lain dia langsung bersu'uzhan terhadap perkataan tersebut, padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebab kan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. 49:6)

Berkata as-Sa'di di dalam tafsirnya, "Ini juga merupakan adab dari sekian adab yang selayaknya diterapkan dan digunakan oleh orang-orang yang berakal. Yaitu jika ada seorang fasiq mengabarkan tentang suatu berita, maka hendaknya mengecek kebenaran beritanya tersebut dan tidak menerimanya dengan serta merta. Karena yang demikian itu berbahaya sekali dan dapat menjerumuskan ke dalam dosa. Sebab kabar tersebut jika langsung dinilai sebagai kabar yang benar dan adil maka akan ikut juga berbagai hal yang menjadi tuntutan dan konsekuensinya. Maka terkadang menyebabkan kerugian jiwa dan harta dengan cara yang tidak haq sebagai akibat dari berita itu, dan akhirnya menjadikan penyesalan. Maka wajib untuk tabayyun (mengecek kebenaran suatu berita, agar tidak simpang siur dan menimbulkan fitnah) ketika mendengar kabar dari seorang yang fasiq.

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
"Jauhilah oleh kalian zhann, karena zhann adalah sedusta-dusta ucapan." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan zhann (persangkaan) di sini adalah, "Keraguan yang ditanamkan kepadamu oleh seseorang tentang suatu hal, lalu kamu menganggapnya sebagai kebenaran dan memutuskan berdasarkan zhann itu. Dan dikatakan juga ia bermakna, "Jauhilah oleh kalian su'uzhan (prasangka buruk)."

Oleh karena itu berbaik sangkalah engkau kepada orang, maka orang pun akan berbaik sangka kepadamu. Selayaknya pula orang yang mendengar suatu ucapan kemudian dia tidak paham maksudnya atau tidak bisa mencernanya, hendaknya dia jangan langsung berburuk sangka. Namun bertanya kepada yang bersangkutan (si pengucap); Apa sebenarnya maksud dari ucapan tersebut agar segalanya menjadi jelas.

Al-Imam Ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa su'uzhan terhadap sesama muslim termasuk kabair (dosa besar) yang tersembunyi. Beliau menyebutkan su'uzhan dalam urutan dosa besar yang ke tiga puluh satu, beliau mengatakan, "Dosa besar ini (su'uzhan) merupakan di antara hal yang wajib untuk diketahui oleh setiap mukallaf, supaya dapat mengobati ketergelincirannya. Karena siapa saja yang di dalamnya terdapat penyakit ini dia tidak akan dapat bertemu Allah subhanahu wata’ala dengan hati yang salim (selamat). Dosa besar ini celaannya lebih besar daripada celaan terhadap dosa zina, mencuri, minum khamr, dan semisal nya dari dosa-dosa yang dilakukan oleh badan. Ini disebabkan karena besarnya kerusakan yang ditimbulkan, serta akan memberikan dampak buruk yang berkesinambungan.

Macam-macam Su'uzhan

1.Su'uzhan kepada Allah subhanahu wata’ala
Su'uzhan kepada Allah subhanahu wata’ala lebih parah jika dibandingkan dengan putus asa dan pupus harapan (padahal dua-duanya dosa besar). Hal ini disebabkan su'udzan kepada Allah subhanahu wata’ala memuat putus asa dan putus harapan serta masih ada tambahan lagi, karena telah lancang terhadap Allah subhanahu wata’ala dengan sesuatu yang tidak layak dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya.

2. Su'uzhan terhadap Muslim
Ini pun termasuk dosa besar, disebabkan karena seseorang yang menghukumi orang lain hanya dengan zhann, maka akan digiring oleh syetan untuk merendahkan saudaranya itu, tidak memberikan hak-haknya serta enggan untuk memuliakan dan menghormatinya.

Bahkan sebaliknya, akan banyak membicarakan kehormatan dan aibnya, padahal ini adalah sebuah kehancuran dan kebinasaan. Dan setiap orang yang selalu berburuk sangka kepada orang lain, mencari-cari aibnya maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang buruk batinnya.

Zhann adalah tercela dalam seluruh perkara, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran." (QS.Yunus:36)

Diriwayatkan dari Sa'id bin al-Musayyib, dia berkata, "Sebagian saudaraku dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menulis untukku, "Hendaknya engkau letakkan urusan saudaramu pada kondisi yang terbaik selagi tidak tampak olehmu perkara yang mengalahkan (kebaikannya). Dan janganlah engkau menyangka kalimat yang keluar dari seorang muslim sebagai keburukan, sedangkan engkau mendapati kalimat tersebut memiliki kemungkinan (untuk dianggap sebagai) kebaikan.

Bahaya Su'uzhan
o Putus hubungan, pemboikotan dan kebencian.
o Dapat mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.
o Merupakan indikasi rusaknya niat dan buruknya kondisi batin.
o Merupakan salah satu perangai orang munafiq.
o Akan melahirkan permusuhan dan kebencian di antara manusia.
o Merupakan penyebab jatuh dalam akibat yang buruk dan membuka perbuatan keji.
o Mewariskan kehinaan dan kerendahan di hadapan Allah subhanahu wata’ala dan di hadapan manusia.
o Salah satu petunjuk akan lemahnya iman.
o Indikasi atas ketidakpercayaan terhadap diri sendiri.
o Terkadang akan menyeret kepada hal yang lebih buruk lagi yakni ghibah, namimah, dusta untuk tujuan menjatuhkan atau merugikan pihak lain.


Sedangkan keraguan (syak) akan menimbulkan bahaya sebagai berikut:
o Keraguan dapat melemahkan iman kepada Allah subhanahu wata’ala, malaikat, kitab, para nabi, hari Akhir, dan terhadap takdir baik dan buruk.
o Akan masuk rasa was-was dalam hati sehingga tidak pernah merasakan ketetapan, kemantapan,dan keyakinan.
o Ragu-ragu, bimbang dan was-was merupakan penyakit psikologis yang dapat menceraiberaikan kepercayaan atar elemen masyarakat.
o Orang yang ragu-ragu tidak mampu untuk bersikap tegar di dalam segala kondisi.
o Syak (ragu-ragu) terhadap Allah subhanahu wata’ala adalah syirik akbar.
o Ragu-ragu adalah lambang kelemahan iman dan kekuatan syetan.
o Keraguan pemimpin terhadap yang dipimpin dapat menjadikan rusaknya mereka.
o Mendiamkan keraguan dapat melahirkan tuduhan.
o Ragu-ragu menyebabkan su'uzhan terhadap orang-orang terdekat.


Oleh karenanya wahai saudaraku! Hendaklah anda berbaik sangka kepada orang lain, jangan bersikap meragukan terhadap sesama muslim agar anda bisa mencintai mereka dan mereka mencintai anda. Dan jauhilah buruk sangka dan ragu terhadap orang lain, karena hal itu akan menimbulkan sikap saling menjauh, saling membelakangi, dan perpecahan. Merupakan hak seorang muslim atas muslim yang lain, apabila bertemu ia mengucapkan salam kepadanya. Bagaimana hal itu bisa terjadi jika ada su'uzhan di dalam hati?

Wallohu a'lam
Sumber: Buku “Al-Amradh al Khafiyyah wal Aatsar al Jaliyyah,” Yahya Bin Musa al-Zahrani, Imam Masjid Jami Al-Kbair, di Tabuk KSA. (Buletin An-Nur)